CERPEN
BURUNG JELITA
Pagi-pagi buta aku sudah terbangun oleh dering handphoneku yang senada ketika ia berputar bergesekan dengan meja. Sungguh mengesalkan terbangun seperti itu. Aku berusaha tidak mengubrisnya tapi percuma. Telepon itu dari Sinta. Dan kalau tidak aku angkat, maka mampuslah aku. Jadi aku angkat telepon itu, dengan benar-benar enggan.“Halo?”“Banguun, Say. Kau tidak lupa janji kita, kan?” kata Sinta, bertepatan dengan saat aku mengeluarkan uap panjangku.“Apa? Oh, iya. Tentu saja. Aku, err..dalam perjalanan kesana.” Bohong.“Bohong. Aku dengar tadi kau menguap. Sudah kamu di situ saja. Biar aku yang kesana.”
Sinta memutuskan hubungan. Sepertinya ia sedang berada di dalam bus. Sungguh berisik. Begitulah bus kota. Dan itulah kenapa aku lebih memilih naik sepeda. Kadang Sinta mewanti-wanti supaya aku mau sekali-kali naik bus. Katanya ia sulit melihatku belakangan ini. Tentu aku naik bus sekali-kali. Tapi tidak setiap kali. Banyak kejahatan terjadi di dalam bus. Dan kasus kecelakaan juga. Sepeda? Hampir tidak pernah.Aku mengambil handukku dan 15 menit kemudian sudah berpakaian lengkap. Yaa, lebih lambat dari biasanya. Aku masih setengah tertidur. Semalam aku naik ranjang jam 3. Kerjaan betul-betul menumpuk dan satu-satunya hari liburku harus kuhabiskan bersama Sinta. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku pikir, bisa-bisa aku pensiun dini.Kuhirup aroma pagi dari setiap sudut jalan. Berpura-pura kalau itu membuatku segar kembali. Dan iya, aku merasa segar sedikit. Dengan sedikit hirupan kopi Espresso tentunya. Aku tidak ingin Sinta ke apartemenku. Kasihan dia. Jarak dari rumahnya ke apartemenku sangat jauh. Dan tempat di mana kami akan kencan berada ditengah-tengahnya. Aku pun merogoh handphoneku dan berjalan menuju sepedaku. Lokasi apartemen ini begitu asri. Banyak pohon dimana-mana. Sedikit mobil dan motor. Ada Buck`s Cafe di perempatan. Sekolah Taman Kanak-Kanak. Tempat parkir. Aku senang di sini. Begitu pula Sinta. Ia sering menginap di apartemenku. Dan begitu kami menikah, ia bilang ingin kami tinggal disini dan menyekolahkan anak kami di sekolah taman kanak-kanak itu. Aku tertawa. “Kau mengkhayal,” aku bilang.Dia memasang muka terkejut dan marah. “Apa? Jadi kau tidak mau menikah denganku?”“Kau pikir aku mau menikah dengan perempuan sok ngatur sepertimu?” godaku.“Oo, lihat saja. Kalau sudah menikah aku bisa kok jadi istri yang penurut.”“Heh, nada bicaramu seperti kebalikannya.”
Dia mencubit perutku. Saat itu aku sudah punya firasat untuk mengajak Sinta berumah tangga. Tapi aku belum siap. Entah kenapa. Cuma belum siap untuk menikah.“Om,” panggil seseorang.
Aku mengambil kunci sepedaku dan sedang betul-betul kesal kenapa teleponku tidak diangkat.“Mas? Pak? Nak?”
Aku menoleh. Seorang pedagang keliling melihatku sambil tersenyum. Pedagang Cina. Aku bisa lihat giginya yang hampir habis dari senyumannya itu. Ia menjual dupa, yang biasa dipakai etnis TiongHoa untuk sembahyang.“Maaf, er…Kek. Aku tidak pakai dupa,” kataku, mencoba membuka gembok sepeda, dan mencoba menelepon Sinta.
“Heh Nak, kamu bisa menolongnya?”“Hah?”
Aku membalikkan badan dan melihat lagi gigi yang sudah hampir habis itu. Tapi yang punya gigi terus tersenyum dan beranjak pergi. Apa maksudnya? Sebelum aku mengerti maksudnya dan berusaha dalam membuka gembok sepedaku, aku baru menyadari kalau ada seorang anak perempuan kecil tengah menangis. Ia terjatuh dari sepedanya dan terus memanggil-manggil Mama. Aku menghampirinya.
“Hai,” sapaku. Aku tidak terlalu pandai dalam meladeni anak kecil. “Kau terluka.” Ia tetap menangis.“Sini, Kakak bantu. Kakak antar kamu ke dalam sekolah, ya?! Guru UKS bisa merawatmu. Dan mungkin mamamu sudah menunggu di dalam,” kataku seraya membantunya berdiri. Saat itu teleponku berdering.“Man, kamu tadi menelepon?” dari Sinta. Ia masih di dalam bus.
“Ratusan. Kenapa tidak angkat?” Aku balik bertanya.“Ah, tidak kedengaran. Kau tahu ramainya didalam bus ko-, ups, mana kamu tahu ya?” Ia tertawa. “Tunggu sebentar lagi aku akan sampai.”“Err, Sin, kamu tidak usah ke sini. Aku sudah siap dari tadi. Kita ketemu di sana aja, OK?”“Ow, begitu. Ya sudah. Ketemu disana, ya. Kasih sinyal kalau sudah sampai. Soalnya kamu tidak kelihatan. Haha…” Telepon putus.“Pacar ya, Kak?” tanya perempuan tadi. Aku mengangguk. Tersenyum melihat anak perempuan ini. Paling dia masih duduk di TK kecil. Tapi sudah tahu istilah pacar. Nanti kalau SMP sudah tahu ‘istri’ atau ’suami’. SMA sudah tahu sex. Dan di bangku kuliah sudah menikah. Err…darimana datangnya pikiran ini?! Anak semanis ini, dan berpikir yang macam-macam tentangnya? Aku langsung mengantarnya ke ruang UKS dan kembali ke tempat parkir secepatnya. Anggap saja pikiran tadi tidak pernah ada. Tidak pernah ada.
Aku mengayuh sepedaku melintasi jalanan aspal, mobil, motor, dan asap yang beserta mereka. Aku tidak suka bau asap. Tapi aku suka rokok. Dan sepanjang hubunganku dengan Sinta, ‘rokok’ adalah topik terpanjang yang pernah kami bahas, dengan debat panjang.Aku tiba di tujuan. Sebuah kebun binatang. Ini merupakan tempat paling pas untuk mengingat kenangan indah. Yaa, disini aku pertama kali menembak Sinta. Di depan kandang orang utan.
“Sekarang kau seperti dia, kau tahu?” katanya waktu aku selesai mengucapkan isi hatiku.“Dia?” tanyaku. “Wah, jadi sulit untuk kamu menerima aku kalau begitu.”“Yaa, kalau dia sih aku mau.”Aku melihat jam tanganku lalu mengecek lagi keberadaan Sinta di sekitar. Aneh, harusnya dia duluan yang sampai. Aku meraih HP dan mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Mungkin masih di bus. Jadi aku mengambil tempat duduk di bangku pengunjung dan menyulut sebatang rokok. Tidak lama telepon berdering. Aku meraihnya namun mataku mencari-cari keberadaan Sinta. Jangan sampai ia melihatku dengan rokok.“Halo, Sin. Kamu dimana?” tanyaku langsung.“Nak Herman? Kamu, Nak?” Mamanya Sinta.“Oh, Tante. Iya Tante, ini saya.” Nada bicaraku langsung berubah. “Ada apa, Tante?”Ia menangis. Sesuatu terjadi.“Nak Herman, sekarang Tante di rumah sakit.” Ia berhenti. Menangis. “Sinta,…Dia kecelakaan.” Kali ini ia benar-benar berhenti bicara dan tangisannya membahana hingga aku bisa mendengar orang-orang di sekitarnya yang berusaha menenangkan. Aku sendiri terpaku. Baru saja aku bisa bergerak dan hendak menyambar sepedaku ketika tiba-tiba suara Arya terdengar dari telepon yang belum putus tadi.
“Kak Herman? Kakak masih di situ? Kak?”“Arya. Arya, Kakak masih disini,” jawabku.“Kami di RS ZZX. Segeralah ke sini, Kak. Kak Sinta butuh Kakak.”“Iya, Kakak segera ke situ.” Aku memutuskan hubungan dan langsung menduduki sepedaku.
KRINGTeleponku berbunyi lagi. Aku menyambarnya dan siapapun ini aku betul-betul tidak ada mood untuk berbasa-basi.“Halo?” kataku dengan tergesa-gesa, bersiap memutuskan hubungan kalau aku rasa ini tidak penting.“Halo? Man? Kenapa kamu? Dikejar anjing?” Suara tertawa dari seberang. Suara tawa yang biasa aku dengar. Awalnya aku merasa seperti jatuh ke jurang dan tubuhku mengambang dalam perjalanannya turun. Tapi sekarang aku seperti terbang. Atau mengambang.
“Sinta? Ini Sinta?” tanyaku tidak percaya.“Tok. Tok. Halooo, sudah tidak kenal suaraku lagi? Mau aku tinju, hah?!”“Tapi, tadi mamamu telepon…”“Oh, mamaku telepon? Kenapa? Eh, di mana kamu? Kenapa tidak ketemu saja? Aku sudah sampai, nih. Dasar. Awas kalau gelayapan dulu sebelum aku.”Aku diam tanpa kata-kata. Ini Sinta. Dan tadi mamanya menyampaikan berita yang menyayat hatiku sangat dalam. Tapi ini dia. Dan dia disini.“Di mana kamu?” tanyaku mencari-cari.“Di pintu masuk,” jawabnya. “Aku di pintu masuk.”
“Tidak ada. Aku tepat di pintu masuk. Di bangku pengunjung.”“Ha-ha. Very funny. Kau tahu?! Sekarang aku sedang duduk di bangku pengunjung dengan lemper di tanganku. Dan kalau kau tidak muncul, lempermu juga ikutan masuk ke perutku. Aam…”
“Serius, Sin! Aku serius. Aku juga di bangku pengunjung. Tadi mamamu menelepon..”“Dan?”“Dia bilang kau kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumah sakit.”
Aku diam sejenak. Menunggu reaksi Sinta. Hening. Sinta tidak berkata apa-apa. Aku pikir dia juga pasti shock dan terheran-heran.
“Sin?” panggilku. “Sinta? Kau di situ?”“Ya Tuhan, Herman!” Ia histeris. Entah apa yang terjadi tapi dia panik. Oh Tuhan, seandainya aku disebelahnya.“Herman! Herman!” Sinta memanggil-manggilku. Suaranya seperti hendak menangis.“Sin, Sinta, aku di sini. Tenang. Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Aku berusaha menenangkannya. Tapi dia justru terdengar semakin gugup.
“Tidak, Man. Man, aku.., ini.., Herman..” Ia mulai menangis.“Sinta, apa yang terjadi?”“Oooh, Tuhan. Herman, keluarkan aku dari sini.” pintanya.“Sinta, apa yang terjadi? Di mana kamu?”“Aku di sini. Aku…aku…” Ia terisak. “Begitu kau bilang soal kecelakaan, aku baru teringat. Bus yang aku tumpangi, entah bagaimana, bus itu seperti meledak. Awalnya seperti gempa. Lalu api di mana-mana. Kemudian semua kembali seperti normal.”
“Apa maksudmu kembali seperti normal?”“Semuanya kembali normal. Kau tidak mengerti? Semuanya kembali, aku di dalam bus, lalu semua orang. Semuanya normal. Seolah semua gempa dan ledakan itu tidak pernah ada.”“Lalu di mana kamu sekarang, Sin? Di mana semuanya?”“Justru itu, Man.” Sinta mulai menangis. Dan ia ketakutan. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya.
Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku menyuruh Sinta untuk tenang, di sana. Handphone masih aku nyalakan. Satu persatu orang yang lewat di sekitar situ aku dekati dan aku berusaha menceritakan sesingkat dan sedetail mungkin. Namun mereka semua mengira aku gila. Siapa yang bisa aku mintai tolong? Bergunakah untuk berdoa di saat seperti ini? Ya, aku menyuruh Sinta berdoa. Sedang aku seperti orang gila kesana kemari mencari pertolongan.“Man? Herman? Kau disitu?” panggil Sinta. Aku buru-buru mendekati handphoneku ke telinga.
“Ya, Sin. Aku masih di sini.”“Aku takut, Man.”“Ya, aku tahu, Sin. Aku sedang mencari pertolongan.”“Menurutmu siapa yang bisa menolong kita sekarang?” Pertanyaan itu tidak bisa aku jawab. Tapi Sinta pasti sangat ketakutan hingga melontarkannya.
“Entahlah, Sin. Aku tidak tahu. Mungkin seorang cenayang atau dukun.”“Aku tidak mau dukun. Kau tidak tahu kalau dukun itu pakai ilmu hitam? Sekali terjerat, kau pasti masuk neraka.”
Ya, ini benar-benar kamu, Sin. Aku sih rela masuk neraka asal kau keluar dari situ. Kalau bukan dukun atau cenayang, lalu siapa? Orang tua itu. Pikiranku terlintas oleh bayangan seorang kakek-kakek Cina penjual dupa. Aku bertemu dengannya tadi pagi.“Kau bisa menolongnya,” katanya. Aku merasa ada harapan yang muncul. Tidak ada yang bisa menolong kami saat ini. Setidaknya aku harus mencoba orang tua ini.“Sin, aku harus pergi. Kau tetap di situ, di sini. Tetap nyalakan teleponmu.”“Kau mau kemana, Man? Aku takut.”“Tetaplah di situ, OK? Aku mencoba mengeluarkanmu dari situ.”
Aku pun pergi mengayuhkan sepedaku kembali ke apartemenku. Apa ia masih disitu? pikirku. Semoga saja. Oh, Tuhan, semoga ia masih disitu. Kalau memang ia yang bisa membantu, Tuhan tolonglah. Entah bagaimana, tapi aku menangis. Sudah lama sekali aku tidak menangis. Rasanya seperti…. entah bagaimana mendiskripsikannya, rasanya seperti, hidup.
Aku tiba di halaman parkir di depan apartemenku. Aku melihat tempat di mana aku melihat orang tua cina itu. Ia tidak disitu. Juga disekitarnya. Ia tidak di mana pun di sekitar itu. Aku mencarinya di dalam lapangan parkir, di sekolah, di setiap sudut apartemen yang memungkinkan seorang gembel mengungsi disitu, tapi dia tidak ada. Aku mulai putus asa. Hampir saja aku membanting handphone di tanganku begitu aku sadar cuma itu yang menghubungkan aku dengan Sinta saat ini. Oh, Tuhan, cuma ini yang menghubungkan aku dengannya. Itu pun entah sampai kapan.“Kak, kau sudah pulang?” Anak perempuan yang tadi. Kakinya sudah diperban.“Ya, Kakak ada sedikit masalah,” jawabku. “Kau tahu, kakek yang tadi pagi lewat sini? Orang Cina. Kau lihat dia?”“Tidak,” jawabnya. Lalu ia diam dan meraih sesuatu dari saku celananya. “Seseorang menyuruhku memberi Kakak ini. Ia bilang aku akan ditraktir es krim setelah ini.”“Ia bilang akan kembali mentraktirmu es krim itu, begitu?”“Tidak. Kakak yang mentraktirku es krim,” pintanya dengan merajuk.
Aku mengambil secarik kertas dari tangannya dan membukanya perlahan-lahan.
Kesempatan cuma datang sekali. Dan sekali kau kehilangannya, kau kehilangan selamanya.
Aku melipat kembali kertas itu. Entah apa maksudnya tapi aku merasakan dadaku semakin berat. Lututku lemas hingga aku berlutut ke bawah. Dan begitu beratnya dadaku, aku menangis dan dari mulutku aku meraung. Aku tidak mengerti kalimat itu tapi aku merasa seolah-olah hidup tengah menghukumku. Aku mengangkat handphoneku namun layarnya hitam. Batereinya habis. Habis sudah satu-satunya penghubungku dengan Sinta. Aku meraih sepedaku dan bergegas menuju rumah sakit.
Arya dan mamanya menyambutku dengan mata sembab dan basah. Sinta di dalam sana. Ratusan selang terhubung di tubuhnya dan ia begitu tenang. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang dingin. Suster bilang aku cuma punya waktu 5 menit. Tapi apa yang akan aku lakukan dalam waktu 5 menit? Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa ia mendengar? Apa ia tahu aku disini? Apa ia tahu kalau aku menangis? Pliiss, kalau kau mau, ejek aku, ejek saja. Aku menangis. Sinta, aku menangis. Bilang aku seperti orang utan. Monyet yang cengeng. Apa saja. Tapi jangan diam seperti ini. Plis, bangunlah. Kumohon. Tuhan, aku mohon. Tanpa sadar mataku pun banjir oleh air mata dan aku sulit mengontrol isakanku.
Suster pun datang mengatakan bahwa waktuku telah habis. Tapi aku memohon kepadanya untuk memberiku waktu 1 menit saja. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku katakan padanya dari dulu. Maka aku pegang tangannya. Kudekatkan bibirku ke telinganya, memastikan ia mendengar ucapanku meski berada jauh disana.
“Sinta, demi seribu burung jelita yang terbang di angkasa, kumohon menikahlah denganku.”Tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah bagaimana menjelaskan perubahan suasana ini. Televisi di dalam ruangan tersebut mengeluarkan bunyi tit yang berbeda dari sebelumnya. Di layarnya terdapat kurva-kurva yang tidak aku mengerti. Dan saat itu jari Sinta bergerak. Kecil, tapi aku merasakannya di tangannku. Dan suster masuk dan mendepakku keluar. Lalu beberapa dokter pun masuk. Dan kemudian semuanya serba tidak aku mengerti. Yang aku mengerti 2 hari kemudian ketika aku mengunjugi rumah sakit ini lagi.
2 hari kemudian
“Hai, Tuan Puteri Yang Tidak Mau Keluar dari Rumah Sakit,”“Haii. Bunga lagi? Punya duit ya buat beli bunga?”“Buat kamu apa sih yang tidak ?”“Haha, gombalnya keluar. Aku bukan 3 tahun yang lalu, yang mudah termakan gombalan kamu.”“Ya iyalah. Tiga tahun lalu aku makan, 2 tahun lalu aku cerna, ya ini, sekarang tinggal ampasnya. Haha.”“Sialaan. Berani ya bilang aku ampas. Tak cubit perutmu lagi. Sini!”“Mau apa?”“Cubit perutmu.”“Kamu kira aku bodoh mau-maunya dicubit?”“Emang kan. Sini.” Aku mendekatinya. Duduk disebelahnya. Sinta mencubitku tapi pelan. Lalu ia mengusap leherku dan menciumku di situ. Aku balas menciumnya. Saat itu aku melihat hartaku yang paling berharga.“Kau tahu, Man?”“Ya?”“Aku kangen cerita tentang seribu burung jelita.” Ia tersenyum. Senyum yang biasa aku lihat.“Siapa yang menceritakan itu padamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Entah. Kupikir kau bisa menceritakannya padaku.”
Pagi-pagi buta aku sudah terbangun oleh dering handphoneku yang senada ketika ia berputar bergesekan dengan meja. Sungguh mengesalkan terbangun seperti itu. Aku berusaha tidak mengubrisnya tapi percuma. Telepon itu dari Sinta. Dan kalau tidak aku angkat, maka mampuslah aku. Jadi aku angkat telepon itu, dengan benar-benar enggan.“Halo?”“Banguun, Say. Kau tidak lupa janji kita, kan?” kata Sinta, bertepatan dengan saat aku mengeluarkan uap panjangku.“Apa? Oh, iya. Tentu saja. Aku, err..dalam perjalanan kesana.” Bohong.“Bohong. Aku dengar tadi kau menguap. Sudah kamu di situ saja. Biar aku yang kesana.”
Sinta memutuskan hubungan. Sepertinya ia sedang berada di dalam bus. Sungguh berisik. Begitulah bus kota. Dan itulah kenapa aku lebih memilih naik sepeda. Kadang Sinta mewanti-wanti supaya aku mau sekali-kali naik bus. Katanya ia sulit melihatku belakangan ini. Tentu aku naik bus sekali-kali. Tapi tidak setiap kali. Banyak kejahatan terjadi di dalam bus. Dan kasus kecelakaan juga. Sepeda? Hampir tidak pernah.Aku mengambil handukku dan 15 menit kemudian sudah berpakaian lengkap. Yaa, lebih lambat dari biasanya. Aku masih setengah tertidur. Semalam aku naik ranjang jam 3. Kerjaan betul-betul menumpuk dan satu-satunya hari liburku harus kuhabiskan bersama Sinta. Apa yang lebih buruk dari semua ini? Aku pikir, bisa-bisa aku pensiun dini.Kuhirup aroma pagi dari setiap sudut jalan. Berpura-pura kalau itu membuatku segar kembali. Dan iya, aku merasa segar sedikit. Dengan sedikit hirupan kopi Espresso tentunya. Aku tidak ingin Sinta ke apartemenku. Kasihan dia. Jarak dari rumahnya ke apartemenku sangat jauh. Dan tempat di mana kami akan kencan berada ditengah-tengahnya. Aku pun merogoh handphoneku dan berjalan menuju sepedaku. Lokasi apartemen ini begitu asri. Banyak pohon dimana-mana. Sedikit mobil dan motor. Ada Buck`s Cafe di perempatan. Sekolah Taman Kanak-Kanak. Tempat parkir. Aku senang di sini. Begitu pula Sinta. Ia sering menginap di apartemenku. Dan begitu kami menikah, ia bilang ingin kami tinggal disini dan menyekolahkan anak kami di sekolah taman kanak-kanak itu. Aku tertawa. “Kau mengkhayal,” aku bilang.Dia memasang muka terkejut dan marah. “Apa? Jadi kau tidak mau menikah denganku?”“Kau pikir aku mau menikah dengan perempuan sok ngatur sepertimu?” godaku.“Oo, lihat saja. Kalau sudah menikah aku bisa kok jadi istri yang penurut.”“Heh, nada bicaramu seperti kebalikannya.”
Dia mencubit perutku. Saat itu aku sudah punya firasat untuk mengajak Sinta berumah tangga. Tapi aku belum siap. Entah kenapa. Cuma belum siap untuk menikah.“Om,” panggil seseorang.
Aku mengambil kunci sepedaku dan sedang betul-betul kesal kenapa teleponku tidak diangkat.“Mas? Pak? Nak?”
Aku menoleh. Seorang pedagang keliling melihatku sambil tersenyum. Pedagang Cina. Aku bisa lihat giginya yang hampir habis dari senyumannya itu. Ia menjual dupa, yang biasa dipakai etnis TiongHoa untuk sembahyang.“Maaf, er…Kek. Aku tidak pakai dupa,” kataku, mencoba membuka gembok sepeda, dan mencoba menelepon Sinta.
“Heh Nak, kamu bisa menolongnya?”“Hah?”
Aku membalikkan badan dan melihat lagi gigi yang sudah hampir habis itu. Tapi yang punya gigi terus tersenyum dan beranjak pergi. Apa maksudnya? Sebelum aku mengerti maksudnya dan berusaha dalam membuka gembok sepedaku, aku baru menyadari kalau ada seorang anak perempuan kecil tengah menangis. Ia terjatuh dari sepedanya dan terus memanggil-manggil Mama. Aku menghampirinya.
“Hai,” sapaku. Aku tidak terlalu pandai dalam meladeni anak kecil. “Kau terluka.” Ia tetap menangis.“Sini, Kakak bantu. Kakak antar kamu ke dalam sekolah, ya?! Guru UKS bisa merawatmu. Dan mungkin mamamu sudah menunggu di dalam,” kataku seraya membantunya berdiri. Saat itu teleponku berdering.“Man, kamu tadi menelepon?” dari Sinta. Ia masih di dalam bus.
“Ratusan. Kenapa tidak angkat?” Aku balik bertanya.“Ah, tidak kedengaran. Kau tahu ramainya didalam bus ko-, ups, mana kamu tahu ya?” Ia tertawa. “Tunggu sebentar lagi aku akan sampai.”“Err, Sin, kamu tidak usah ke sini. Aku sudah siap dari tadi. Kita ketemu di sana aja, OK?”“Ow, begitu. Ya sudah. Ketemu disana, ya. Kasih sinyal kalau sudah sampai. Soalnya kamu tidak kelihatan. Haha…” Telepon putus.“Pacar ya, Kak?” tanya perempuan tadi. Aku mengangguk. Tersenyum melihat anak perempuan ini. Paling dia masih duduk di TK kecil. Tapi sudah tahu istilah pacar. Nanti kalau SMP sudah tahu ‘istri’ atau ’suami’. SMA sudah tahu sex. Dan di bangku kuliah sudah menikah. Err…darimana datangnya pikiran ini?! Anak semanis ini, dan berpikir yang macam-macam tentangnya? Aku langsung mengantarnya ke ruang UKS dan kembali ke tempat parkir secepatnya. Anggap saja pikiran tadi tidak pernah ada. Tidak pernah ada.
Aku mengayuh sepedaku melintasi jalanan aspal, mobil, motor, dan asap yang beserta mereka. Aku tidak suka bau asap. Tapi aku suka rokok. Dan sepanjang hubunganku dengan Sinta, ‘rokok’ adalah topik terpanjang yang pernah kami bahas, dengan debat panjang.Aku tiba di tujuan. Sebuah kebun binatang. Ini merupakan tempat paling pas untuk mengingat kenangan indah. Yaa, disini aku pertama kali menembak Sinta. Di depan kandang orang utan.
“Sekarang kau seperti dia, kau tahu?” katanya waktu aku selesai mengucapkan isi hatiku.“Dia?” tanyaku. “Wah, jadi sulit untuk kamu menerima aku kalau begitu.”“Yaa, kalau dia sih aku mau.”Aku melihat jam tanganku lalu mengecek lagi keberadaan Sinta di sekitar. Aneh, harusnya dia duluan yang sampai. Aku meraih HP dan mencoba meneleponnya tapi tidak diangkat. Mungkin masih di bus. Jadi aku mengambil tempat duduk di bangku pengunjung dan menyulut sebatang rokok. Tidak lama telepon berdering. Aku meraihnya namun mataku mencari-cari keberadaan Sinta. Jangan sampai ia melihatku dengan rokok.“Halo, Sin. Kamu dimana?” tanyaku langsung.“Nak Herman? Kamu, Nak?” Mamanya Sinta.“Oh, Tante. Iya Tante, ini saya.” Nada bicaraku langsung berubah. “Ada apa, Tante?”Ia menangis. Sesuatu terjadi.“Nak Herman, sekarang Tante di rumah sakit.” Ia berhenti. Menangis. “Sinta,…Dia kecelakaan.” Kali ini ia benar-benar berhenti bicara dan tangisannya membahana hingga aku bisa mendengar orang-orang di sekitarnya yang berusaha menenangkan. Aku sendiri terpaku. Baru saja aku bisa bergerak dan hendak menyambar sepedaku ketika tiba-tiba suara Arya terdengar dari telepon yang belum putus tadi.
“Kak Herman? Kakak masih di situ? Kak?”“Arya. Arya, Kakak masih disini,” jawabku.“Kami di RS ZZX. Segeralah ke sini, Kak. Kak Sinta butuh Kakak.”“Iya, Kakak segera ke situ.” Aku memutuskan hubungan dan langsung menduduki sepedaku.
KRINGTeleponku berbunyi lagi. Aku menyambarnya dan siapapun ini aku betul-betul tidak ada mood untuk berbasa-basi.“Halo?” kataku dengan tergesa-gesa, bersiap memutuskan hubungan kalau aku rasa ini tidak penting.“Halo? Man? Kenapa kamu? Dikejar anjing?” Suara tertawa dari seberang. Suara tawa yang biasa aku dengar. Awalnya aku merasa seperti jatuh ke jurang dan tubuhku mengambang dalam perjalanannya turun. Tapi sekarang aku seperti terbang. Atau mengambang.
“Sinta? Ini Sinta?” tanyaku tidak percaya.“Tok. Tok. Halooo, sudah tidak kenal suaraku lagi? Mau aku tinju, hah?!”“Tapi, tadi mamamu telepon…”“Oh, mamaku telepon? Kenapa? Eh, di mana kamu? Kenapa tidak ketemu saja? Aku sudah sampai, nih. Dasar. Awas kalau gelayapan dulu sebelum aku.”Aku diam tanpa kata-kata. Ini Sinta. Dan tadi mamanya menyampaikan berita yang menyayat hatiku sangat dalam. Tapi ini dia. Dan dia disini.“Di mana kamu?” tanyaku mencari-cari.“Di pintu masuk,” jawabnya. “Aku di pintu masuk.”
“Tidak ada. Aku tepat di pintu masuk. Di bangku pengunjung.”“Ha-ha. Very funny. Kau tahu?! Sekarang aku sedang duduk di bangku pengunjung dengan lemper di tanganku. Dan kalau kau tidak muncul, lempermu juga ikutan masuk ke perutku. Aam…”
“Serius, Sin! Aku serius. Aku juga di bangku pengunjung. Tadi mamamu menelepon..”“Dan?”“Dia bilang kau kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumah sakit.”
Aku diam sejenak. Menunggu reaksi Sinta. Hening. Sinta tidak berkata apa-apa. Aku pikir dia juga pasti shock dan terheran-heran.
“Sin?” panggilku. “Sinta? Kau di situ?”“Ya Tuhan, Herman!” Ia histeris. Entah apa yang terjadi tapi dia panik. Oh Tuhan, seandainya aku disebelahnya.“Herman! Herman!” Sinta memanggil-manggilku. Suaranya seperti hendak menangis.“Sin, Sinta, aku di sini. Tenang. Kita cari tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Aku berusaha menenangkannya. Tapi dia justru terdengar semakin gugup.
“Tidak, Man. Man, aku.., ini.., Herman..” Ia mulai menangis.“Sinta, apa yang terjadi?”“Oooh, Tuhan. Herman, keluarkan aku dari sini.” pintanya.“Sinta, apa yang terjadi? Di mana kamu?”“Aku di sini. Aku…aku…” Ia terisak. “Begitu kau bilang soal kecelakaan, aku baru teringat. Bus yang aku tumpangi, entah bagaimana, bus itu seperti meledak. Awalnya seperti gempa. Lalu api di mana-mana. Kemudian semua kembali seperti normal.”
“Apa maksudmu kembali seperti normal?”“Semuanya kembali normal. Kau tidak mengerti? Semuanya kembali, aku di dalam bus, lalu semua orang. Semuanya normal. Seolah semua gempa dan ledakan itu tidak pernah ada.”“Lalu di mana kamu sekarang, Sin? Di mana semuanya?”“Justru itu, Man.” Sinta mulai menangis. Dan ia ketakutan. “Tidak ada siapa-siapa di sini,” katanya.
Aku pun tidak tahu harus bagaimana. Tapi aku menyuruh Sinta untuk tenang, di sana. Handphone masih aku nyalakan. Satu persatu orang yang lewat di sekitar situ aku dekati dan aku berusaha menceritakan sesingkat dan sedetail mungkin. Namun mereka semua mengira aku gila. Siapa yang bisa aku mintai tolong? Bergunakah untuk berdoa di saat seperti ini? Ya, aku menyuruh Sinta berdoa. Sedang aku seperti orang gila kesana kemari mencari pertolongan.“Man? Herman? Kau disitu?” panggil Sinta. Aku buru-buru mendekati handphoneku ke telinga.
“Ya, Sin. Aku masih di sini.”“Aku takut, Man.”“Ya, aku tahu, Sin. Aku sedang mencari pertolongan.”“Menurutmu siapa yang bisa menolong kita sekarang?” Pertanyaan itu tidak bisa aku jawab. Tapi Sinta pasti sangat ketakutan hingga melontarkannya.
“Entahlah, Sin. Aku tidak tahu. Mungkin seorang cenayang atau dukun.”“Aku tidak mau dukun. Kau tidak tahu kalau dukun itu pakai ilmu hitam? Sekali terjerat, kau pasti masuk neraka.”
Ya, ini benar-benar kamu, Sin. Aku sih rela masuk neraka asal kau keluar dari situ. Kalau bukan dukun atau cenayang, lalu siapa? Orang tua itu. Pikiranku terlintas oleh bayangan seorang kakek-kakek Cina penjual dupa. Aku bertemu dengannya tadi pagi.“Kau bisa menolongnya,” katanya. Aku merasa ada harapan yang muncul. Tidak ada yang bisa menolong kami saat ini. Setidaknya aku harus mencoba orang tua ini.“Sin, aku harus pergi. Kau tetap di situ, di sini. Tetap nyalakan teleponmu.”“Kau mau kemana, Man? Aku takut.”“Tetaplah di situ, OK? Aku mencoba mengeluarkanmu dari situ.”
Aku pun pergi mengayuhkan sepedaku kembali ke apartemenku. Apa ia masih disitu? pikirku. Semoga saja. Oh, Tuhan, semoga ia masih disitu. Kalau memang ia yang bisa membantu, Tuhan tolonglah. Entah bagaimana, tapi aku menangis. Sudah lama sekali aku tidak menangis. Rasanya seperti…. entah bagaimana mendiskripsikannya, rasanya seperti, hidup.
Aku tiba di halaman parkir di depan apartemenku. Aku melihat tempat di mana aku melihat orang tua cina itu. Ia tidak disitu. Juga disekitarnya. Ia tidak di mana pun di sekitar itu. Aku mencarinya di dalam lapangan parkir, di sekolah, di setiap sudut apartemen yang memungkinkan seorang gembel mengungsi disitu, tapi dia tidak ada. Aku mulai putus asa. Hampir saja aku membanting handphone di tanganku begitu aku sadar cuma itu yang menghubungkan aku dengan Sinta saat ini. Oh, Tuhan, cuma ini yang menghubungkan aku dengannya. Itu pun entah sampai kapan.“Kak, kau sudah pulang?” Anak perempuan yang tadi. Kakinya sudah diperban.“Ya, Kakak ada sedikit masalah,” jawabku. “Kau tahu, kakek yang tadi pagi lewat sini? Orang Cina. Kau lihat dia?”“Tidak,” jawabnya. Lalu ia diam dan meraih sesuatu dari saku celananya. “Seseorang menyuruhku memberi Kakak ini. Ia bilang aku akan ditraktir es krim setelah ini.”“Ia bilang akan kembali mentraktirmu es krim itu, begitu?”“Tidak. Kakak yang mentraktirku es krim,” pintanya dengan merajuk.
Aku mengambil secarik kertas dari tangannya dan membukanya perlahan-lahan.
Kesempatan cuma datang sekali. Dan sekali kau kehilangannya, kau kehilangan selamanya.
Aku melipat kembali kertas itu. Entah apa maksudnya tapi aku merasakan dadaku semakin berat. Lututku lemas hingga aku berlutut ke bawah. Dan begitu beratnya dadaku, aku menangis dan dari mulutku aku meraung. Aku tidak mengerti kalimat itu tapi aku merasa seolah-olah hidup tengah menghukumku. Aku mengangkat handphoneku namun layarnya hitam. Batereinya habis. Habis sudah satu-satunya penghubungku dengan Sinta. Aku meraih sepedaku dan bergegas menuju rumah sakit.
Arya dan mamanya menyambutku dengan mata sembab dan basah. Sinta di dalam sana. Ratusan selang terhubung di tubuhnya dan ia begitu tenang. Aku duduk di sebelahnya, memegang tangannya yang dingin. Suster bilang aku cuma punya waktu 5 menit. Tapi apa yang akan aku lakukan dalam waktu 5 menit? Aku tidak tahu harus berkata apa. Apa ia mendengar? Apa ia tahu aku disini? Apa ia tahu kalau aku menangis? Pliiss, kalau kau mau, ejek aku, ejek saja. Aku menangis. Sinta, aku menangis. Bilang aku seperti orang utan. Monyet yang cengeng. Apa saja. Tapi jangan diam seperti ini. Plis, bangunlah. Kumohon. Tuhan, aku mohon. Tanpa sadar mataku pun banjir oleh air mata dan aku sulit mengontrol isakanku.
Suster pun datang mengatakan bahwa waktuku telah habis. Tapi aku memohon kepadanya untuk memberiku waktu 1 menit saja. Aku ingin mengucapkan sesuatu yang ingin sekali aku katakan padanya dari dulu. Maka aku pegang tangannya. Kudekatkan bibirku ke telinganya, memastikan ia mendengar ucapanku meski berada jauh disana.
“Sinta, demi seribu burung jelita yang terbang di angkasa, kumohon menikahlah denganku.”Tiba-tiba sesuatu terjadi. Entah bagaimana menjelaskan perubahan suasana ini. Televisi di dalam ruangan tersebut mengeluarkan bunyi tit yang berbeda dari sebelumnya. Di layarnya terdapat kurva-kurva yang tidak aku mengerti. Dan saat itu jari Sinta bergerak. Kecil, tapi aku merasakannya di tangannku. Dan suster masuk dan mendepakku keluar. Lalu beberapa dokter pun masuk. Dan kemudian semuanya serba tidak aku mengerti. Yang aku mengerti 2 hari kemudian ketika aku mengunjugi rumah sakit ini lagi.
2 hari kemudian
“Hai, Tuan Puteri Yang Tidak Mau Keluar dari Rumah Sakit,”“Haii. Bunga lagi? Punya duit ya buat beli bunga?”“Buat kamu apa sih yang tidak ?”“Haha, gombalnya keluar. Aku bukan 3 tahun yang lalu, yang mudah termakan gombalan kamu.”“Ya iyalah. Tiga tahun lalu aku makan, 2 tahun lalu aku cerna, ya ini, sekarang tinggal ampasnya. Haha.”“Sialaan. Berani ya bilang aku ampas. Tak cubit perutmu lagi. Sini!”“Mau apa?”“Cubit perutmu.”“Kamu kira aku bodoh mau-maunya dicubit?”“Emang kan. Sini.” Aku mendekatinya. Duduk disebelahnya. Sinta mencubitku tapi pelan. Lalu ia mengusap leherku dan menciumku di situ. Aku balas menciumnya. Saat itu aku melihat hartaku yang paling berharga.“Kau tahu, Man?”“Ya?”“Aku kangen cerita tentang seribu burung jelita.” Ia tersenyum. Senyum yang biasa aku lihat.“Siapa yang menceritakan itu padamu?” tanyaku pura-pura tidak tahu.“Entah. Kupikir kau bisa menceritakannya padaku.”
Komentar
Posting Komentar