Menemukan ‘rokok’ di kota-kota di Indonesia, bisa dipastikan segampang membalikkan telapak tangan. Tapi menemukan benda-benda antik seputar pembuatan rokok?Anda harus ke museum Kretek Kudus.
Bagi jantung manusia, rokok bisa menjadi petaka. Tapi bagi jantung pemda Kudus, rokok adalah berkah. Tiap tahun industri rokok di kota ini menghasilkan pendapatan rata-rata satu triliun, dan memberi makan lebih dari sembilan puluh ribu karyawan pabrik-pabrik rokok di Kudus.
Karena alasan itulah, kota Kudus mendapat julukan “Kota Kretek”. Untuk lebih menegaskan platform itu, pada tahun 1985, pemerintah kabupaten Kudus mendirikan museum khusus bernama “Museum Kretek Kudus”.
Museum yang didirikan untuk menyelamatkan benda-benda bersejarah yang berkaitan dengan industri rokok ini terletak di jalan Getas Pejaten 155 Jati, Kudus. Untuk menuju ke sana, kita cukup sekali naik angkot dari terminal Kudus. Itupun semua angkot bisa menjadi pilihan. Lalu turun di pertigaan PLN jalan R Agil Kusumadya. Dari sana, kita harus berjalan sejarak 500 meter. Jika malas jalan kaki, cukup siapkan tiga ribu perak, dan abang-abang becak siap mengantar.
Museum itu berdiri di atas tanah seluas 1.500 m2. Di area yang sama, Pemkab Kudus mendirikan rumah khas Kudus, lengkap dengan ruang Gedongan, “ruang khusus” pengantin baru. Dinding-dindingnya berhias ukiran khas Kudus (paduan budaya Hindu, Budha, Cina, dan Arab).
Luas bangunan museum itu sendiri tak seberapa (lebih kurang hanya separo dari luas auditorium Undip). Meski sempit, koleksi museum rokok ini cukup lengkap. Mulai dari alat produksi rokok, bahan baku rokok, hingga rokok itu sendiri.
Umumnya, ada lima koleksi besar alat produksi rokok di museum ini; koleksi gilingan cengkeh (alat perajang cengkeh glondong), koleksi gilingan tembakau (alat pengurai tembakau), koleksi krondo (alat yang digunakan untuk memisahkan batang tembakau yang kasar dengan yang halus), dan koleksi alat perajang tembakau.
Semua ditata menjadi dua bagian; koleksi peralatan tradisional dan modern. Peralatan tradisional ditata di sisi kiri ruangan, sedangkan yang modern, tertata di sisi kanan ruangan. Tidak main-main, museum ini menyimpan alat-alat tradisional yang langka dan “berumur”. Lihat saja alat penggulung rokok yang berangka tahun 10-10-1938.
Sedangkan untuk perlatan yang tergolong modern banyak berupa asbak, gantungan kunci, korek api, payung, topi, jam, tas, gelas, cangkir, termos, t-shirt dan lain-lain. Logo-logo perusahaan rokok Kudus juga terpampang di sana. Tak hanya logonya, rokok-rokok produksi perusahaan Kudus (dari segala jaman) juga tersimpan di sana, lengkap. Semuanya terpajang di semacam etalase. Letaknya tak jauh dari etalase lain yang berisi koleksi keramik.
Selain itu, ada juga koleksi bahan baku rokok. Ada 17 jenis tembakau dan 10 jenis cengkeh dari berbagai dunia yang ikut nampang di sana. Tak hanya itu, miniatur proses produksi zaman sekarang, mesin produksi masa kini dan gedung pusat pengelola rokok-rokok asli Kudus (ditunjukkan dengan foto-foto) juga tersedia.
Yang menjadi inspirasi pendirian museum ini tak lain adalah Nitisemito. Memang, sejarah rokok Kudus tak bisa dipisahkan dari usaha Nitisemito. Tukang kopi ini pada tahun 1906 mendirikan pabrik rokok bermerk Bal Tiga. Rokok produksinya berupa campuran tembakau dan cengkeh yang dibungkus daun jagung kering yang dibesut (dihaluskan), disebut dengan Klobot. Tak disangka, usaha ini ternyata maju pesat. Setiap harinya, Bal Tiga menghasilkan dua juta batang rokok per hari. Begitu besarnya permintaan itu hingga Nitisemito mengerahkan 6000 orang tenaga buruh. Lama kelamaan, banyak warga Kudus yang meniru jejak Nitisemito.
Foto-foto yang menggambarkan sejarah perjuangan Nitisemito dalam mengembangkan usaha rokok pertama di Kudus, bisa kita saksikan di bagian kiri bangunan. Berseberangan dengan koleksi alat produksi rokok versi tradisional.
Foto-foto para “penerus perjuangan” Nitisemito juga terpampang di sana, di dinding bagian tengah museum. Mereka adalah Oei Wie Gwan (pendiri PR Djarum, tahun 1951), M.C. Wartono (pendiri PR Sukun, tahun 1948), Koo Djee (pendiri PR Nojorono, tahun 1932), dan H. A. Ma’ruf (pendiri PR Djambu Bol, tahun 1937).
Untuk bisa menikmati itu semua, Anda tak perlu pusing menyiapkan kocek. Pengunjung museum hanya dikenakan sumbangan sukarela. Besarnya tak ditentukan. Sumbangan sukarela ini lalu dikumpulkan dan ditambahi alokasi dari PPRK (Persatuan Perusahaan Rokok Kudus) untuk merawat museum.
Ironisnya, meski tak bertarif. Museum ini bisa dikatakan sepi pengunjung. Tiap bulan, jumlah pengunjung hanya berkisar 300-an orang, atau perharinya rata-rata sepuluh pengunjung. Itupun kebanyakan pelajar, yang justru bisa dikatakan bukan komunitas penikmat rokok.
Sebaliknya, para perokok di Kudus (khususnya) dan di Indonesia (umumnya) tampaknya lebih suka menghisap rokok daripada mengetahui sejarah dan pernak-pernik proses pembuatan rokok Tak terkecuali sopir angkot yang siang itu saya tumpangi.
“Males.” Ujar sopir angkot itu sambil tetap mengoperasikan angkot yang ia kendarai.***