ciri -ciri masyarakat abad pertengahan islam
Masyarakat Patriarchat mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
* Pembagian masyarakat dalam tingkatan-tingkatan atau kelas-kelas atau kasta-kasta yang bersifat menindas dari kasta yang atas ke kasta yang di bawahnya. Masyarakat Hindu adalah masyarakat yang menerapkan konsep ini secara ekstrim, dan memberi nama kepada setiap kelas-kelas/kasta-kasta tersebut dari kasta Brahmana yang setingkat Dewa/Tuhan sampai kepada kasta Pariah yang dinistakan dan tidak ada hak apa-apa.
* Keluarga adalah keluarga “kecil” yang “dikepalai” oleh seorang Bapak yang dianggap sebagai “pemilik” keluarga dan berhak melakukan hal-hal apapun juga terhadap hak “miliknya” yaitu istri dan anak-anaknya. Di dalam konsep Hindu bahkan Bapak dianggap sebagai Tuhan/Dewa dari istri dan anak-anaknya. Apa yang dikatakan oleh Bapak adalah hukum bagi istri dan anak-anak.
* Kata Ibu hanya terbatas pada Ibu yang melahirkan kita saja. Anak adalah milik Bapak dan Ibu adalah yang harus mengurus “anak si Bapak”.
* Anak adalah cuma terbatas pada yang dilahirkan oleh seorang perempuan. Anak dari saudara perempuan Ibu/Bapak dikenal dengan sebutan sepupu.
* Perkawinan biasanya dalam bentuk, perkawinan tetap, dimana pihak perempuan tinggal di rumah keluarga suaminya atau di rumah suaminya di mana dalam bentuk ekstrimnya perempuan sebagai istri tidak mempunyai hak apa-apa di rumah ini dan seringkali harus menerima perlakuan buruk dan siksaan dari keluarga suaminya atau dari suaminya.
* Anak yang dilahirkan digolongkan ke dalam klan Bapak atau dianggap sebagai hanya “anak dari si Bapak” dan akan dinamakan berdasarkan nama Klan Bapaknya atau nama keluarga Bapaknya.
* Budaya yang tidak egaliter (hirarkis) dan tidak demokratis. Bentuk ekstrimnya adalah kediktatoran dan budaya otoriter.
* Pengambilan keputusan adalah tidak demokratis/demokratis semu/demokratis tapi untuk segolongan orang saja (kelompok elitis) dan tidak melibatkan semua pihak. Biasanya hanya melibatkan dan berlaku hanya untuk kelompok laki-laki elitis dan mengenyampingkan kelompok-kelompok laki-laki lainnya, kelompok perempuan, kaum muda. Semua tidak dapat menyuarakan pendapatnya
* Masyarakat yang akrab dengan golongan-golongan (hirarki) dan mempunyai kelas/kasta/kelompok penguasa yang dikenal sebagai raja/ratu (tapi jarang sekali), kaisar, sultan, pangeran dll. Kelompok penguasa inilah yang merupakan kelompok pemilik dari semua harta/kekuasaan/hukum/ yang ada di masyarakat, dan seringkali merupakan perlambang daripada kekuasaan Tuhan di dunia seperti di Arab Saudi dan kerajaan-kerajaan Eropa di Abad Pertengahan. Budaya jilat-menjilat pantat penguasa dan budaya “menginjak ke bawah” menjadi keharusan yang harus diikuti untuk bisa hidup dalam tingkatan-tingkatan (hirarki)/kelas-kelas/kasta-kasta yang sangat kejam ini.
* Masyarakat yang menyukai peperangan dan kekerasan. Mempunyai kelas/kasta/kelompok tukang perang/ksatria dan mengenal budaya pembentukan tentara/ksatria/tukang perang sebagai bagian dari kekuasaan dan pembentukan kekuasaan. Budaya kekerasan dan perang dianggap “biasa” dan lumrah serta “kodrat manusia”. Budaya-budaya kekerasan seperti pembunuhan, perang, perampokan, pemerkosaan berkembang dan sangat membudaya. Kata-kata seperti “membunuh”, “memperkosa”, dan lain-lain kata-kata yang merupakan perlambang daripada kekerasan dan penindasan berasal daripada masyarakat ini. Dan lagi-lagi konsep-konsep ini dianggap sebagai “biasa”/”lumrah”/”sudah kodrat manusia”.
* Memuja seorang/beberapa Dewa atau seorang Tuhan yang dipuja sebagai Bapak Dewa/Tuhan di surga yang biasanya merupakan Dewa perang dan bersifat menghukum atau mengesahkan perilaku kekerasan kepada “yang tidak memujanya”.
* Mempunyai pandangan mengenai “kepemilikan pribadi”/oran perorang, yang bersifat pemumpukan harta dan diturunkan dari Bapak ke anak laki-lakinya.
* Mempunyai konsep kepala-kepala dan lain-lain kedudukan yang bertumpu pada kekuasaan yang pada bentuk ekstrimnya berupa kekuasaan absolutis yang sama sekali tidak demokratis dan tidak egaliter. Hitler, Suharto dan Raja Arab Saudi adalah contoh-contoh daripada kekuasaan absolut ini.
* Mempunyai kelompok penguasa agama yang mengatur segala perizinan tentang urusan-urusan dalam masyarakat yang biasanya mengaku-ngaku serbagai perwakilan penguasa langit (Tuhan) yang merasa berhak menghukum dan mengadili masyarakat. Kelompok agama ini biasanya tidak mau bekerja, biasanya mengemis dan hanya menjual kata-kata yang mereka klaim sebagai “berasal dari Tuhan” atau kata-kata yang berharga karena “mereka adalah perwakilan Tuhan”, sang penguasa langit.
* Sangat membenci hubungan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Memuja budaya “asketisme” (mengharamkan hubungan laki-laki dan perempuan/anti hubungan antara laki-laki dan perempuan/anti hubungan lawan jenis), akan tetapi besifat mendua akan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) terutama antara laki-laki dengan laki-laki. Perkawinan adalah merupakan urusan kelompok agama dan harus mendapatkan “izin” dari kelas “penguasa agama” dan keluarga seringkali tidak berwenang menentukan hal ini. Hubungan badan antara laki-laki dengan perempuan dianggap suatu yang hina atau “mesum” atau sebagai salah satu ungkapan daripada “perbuatan setan”. Akan tetapi hubungan badan antara laki-laki tidak mendapatkan tantangan dan sama sekali tidak dibahas atau bahkan diberlakukan sikap mendua untuk hal tersebut seperti banyak yang terjadi di kalangan kelompok penguasa-penguasa agama dan kelompok-kelompok tukang perang/ksatria. Karena itulah masyarakat patriarchal akrab dengan perilaku seksual yang aneh-aneh, tidak alamiah ataupun brutal/biadab seperti seperti “pelacuran” (baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak), istri/suami simpanan (konkubin), homoseksualitas, pederasty/paedophile (seks dengan anak kecil), harem/poligami dan pemerkosaan (terhadap laki-laki/perempuan dan anak-anak).
* Anak adalah mahluk yang tidak dihargai dan dihormati keberadaannya. Mereka dijadikan budak/sebagai obyek seksual perkosaan dan paedophile/pederasty. Kalau tidak mempunyai “Bapak”, tidak diakui keberadaannya dan dianggap sebagai “anak haram” dan dinistakan. Dibunuh pada saat dilahirkan atau di dalam kandungan karena mereka adalah anak perempuan atau karena Ibu yang mengandung mereka dinistaka oleh masyarakat karena “tidak ada suami”. Masyarakat Patriarchal akrab dengan konsep-konsep yang menistakan anak-anak seperti anak haram, anak tidak ber-Bapak. Anak sangat tidak dihormati kelahiran dan keberadaannya, dihormati hanya karena “siapa Bapaknya”. Ketika “siapa Bapaknya” tidak jelas maka ternistalah mereka. Masyarakat patriarchal akrab dengan budaya pembunuhan anak-anak, karena kekejian masyarakat terhadap perempuan hamil yang menyebabkan sang Ibu menggugurkan bayi dengan paksa atau karena konsep anak perempaun yang tidak ada harganya jika dibandingkan dengan anak laki-laki.
* Akrab dengan konsep anak berdasakan kelaminnya. Karena itulah anak laki-laki maupun perempuan adalah tidak sama dihormati dan tidak sama dihargai. Akrab dengan budaya pembunuhan anak perempuan karena kelamin anak laki-laki lebih dihargai daripada kelamin anak perempuan. Anak adalah “siapa Bapaknya” dan tidak dihargai sebagai bakal individu.
* Perempuan dalam bentuk ekstrimya adalh “siapa suaminya” (siapa yang memilikinya). Dalam budaya Hindu India yang sangat membenci perempuan, kalau suami dari seorang perempuan meninggal dunia, maka si perempuan (sebagai hak milik suami) harus ikut mati juga. Sang janda ini berdasarkan filsafat Hindu, dibunuh setelah suaminya mati. Ketika budaya ini dicoba dihapuskan oleh penjajah Inggris, pembunuhan perempuan janda ini mulai hilang. Akan tetapi sampai sekarang tetap saja janda-janda Hindu di India harus menerima nasib dinistakan karena status “janda”nya.
* Pembagian masyarakat dalam tingkatan-tingkatan atau kelas-kelas atau kasta-kasta yang bersifat menindas dari kasta yang atas ke kasta yang di bawahnya. Masyarakat Hindu adalah masyarakat yang menerapkan konsep ini secara ekstrim, dan memberi nama kepada setiap kelas-kelas/kasta-kasta tersebut dari kasta Brahmana yang setingkat Dewa/Tuhan sampai kepada kasta Pariah yang dinistakan dan tidak ada hak apa-apa.
* Keluarga adalah keluarga “kecil” yang “dikepalai” oleh seorang Bapak yang dianggap sebagai “pemilik” keluarga dan berhak melakukan hal-hal apapun juga terhadap hak “miliknya” yaitu istri dan anak-anaknya. Di dalam konsep Hindu bahkan Bapak dianggap sebagai Tuhan/Dewa dari istri dan anak-anaknya. Apa yang dikatakan oleh Bapak adalah hukum bagi istri dan anak-anak.
* Kata Ibu hanya terbatas pada Ibu yang melahirkan kita saja. Anak adalah milik Bapak dan Ibu adalah yang harus mengurus “anak si Bapak”.
* Anak adalah cuma terbatas pada yang dilahirkan oleh seorang perempuan. Anak dari saudara perempuan Ibu/Bapak dikenal dengan sebutan sepupu.
* Perkawinan biasanya dalam bentuk, perkawinan tetap, dimana pihak perempuan tinggal di rumah keluarga suaminya atau di rumah suaminya di mana dalam bentuk ekstrimnya perempuan sebagai istri tidak mempunyai hak apa-apa di rumah ini dan seringkali harus menerima perlakuan buruk dan siksaan dari keluarga suaminya atau dari suaminya.
* Anak yang dilahirkan digolongkan ke dalam klan Bapak atau dianggap sebagai hanya “anak dari si Bapak” dan akan dinamakan berdasarkan nama Klan Bapaknya atau nama keluarga Bapaknya.
* Budaya yang tidak egaliter (hirarkis) dan tidak demokratis. Bentuk ekstrimnya adalah kediktatoran dan budaya otoriter.
* Pengambilan keputusan adalah tidak demokratis/demokratis semu/demokratis tapi untuk segolongan orang saja (kelompok elitis) dan tidak melibatkan semua pihak. Biasanya hanya melibatkan dan berlaku hanya untuk kelompok laki-laki elitis dan mengenyampingkan kelompok-kelompok laki-laki lainnya, kelompok perempuan, kaum muda. Semua tidak dapat menyuarakan pendapatnya
* Masyarakat yang akrab dengan golongan-golongan (hirarki) dan mempunyai kelas/kasta/kelompok penguasa yang dikenal sebagai raja/ratu (tapi jarang sekali), kaisar, sultan, pangeran dll. Kelompok penguasa inilah yang merupakan kelompok pemilik dari semua harta/kekuasaan/hukum/ yang ada di masyarakat, dan seringkali merupakan perlambang daripada kekuasaan Tuhan di dunia seperti di Arab Saudi dan kerajaan-kerajaan Eropa di Abad Pertengahan. Budaya jilat-menjilat pantat penguasa dan budaya “menginjak ke bawah” menjadi keharusan yang harus diikuti untuk bisa hidup dalam tingkatan-tingkatan (hirarki)/kelas-kelas/kasta-kasta yang sangat kejam ini.
* Masyarakat yang menyukai peperangan dan kekerasan. Mempunyai kelas/kasta/kelompok tukang perang/ksatria dan mengenal budaya pembentukan tentara/ksatria/tukang perang sebagai bagian dari kekuasaan dan pembentukan kekuasaan. Budaya kekerasan dan perang dianggap “biasa” dan lumrah serta “kodrat manusia”. Budaya-budaya kekerasan seperti pembunuhan, perang, perampokan, pemerkosaan berkembang dan sangat membudaya. Kata-kata seperti “membunuh”, “memperkosa”, dan lain-lain kata-kata yang merupakan perlambang daripada kekerasan dan penindasan berasal daripada masyarakat ini. Dan lagi-lagi konsep-konsep ini dianggap sebagai “biasa”/”lumrah”/”sudah kodrat manusia”.
* Memuja seorang/beberapa Dewa atau seorang Tuhan yang dipuja sebagai Bapak Dewa/Tuhan di surga yang biasanya merupakan Dewa perang dan bersifat menghukum atau mengesahkan perilaku kekerasan kepada “yang tidak memujanya”.
* Mempunyai pandangan mengenai “kepemilikan pribadi”/oran perorang, yang bersifat pemumpukan harta dan diturunkan dari Bapak ke anak laki-lakinya.
* Mempunyai konsep kepala-kepala dan lain-lain kedudukan yang bertumpu pada kekuasaan yang pada bentuk ekstrimnya berupa kekuasaan absolutis yang sama sekali tidak demokratis dan tidak egaliter. Hitler, Suharto dan Raja Arab Saudi adalah contoh-contoh daripada kekuasaan absolut ini.
* Mempunyai kelompok penguasa agama yang mengatur segala perizinan tentang urusan-urusan dalam masyarakat yang biasanya mengaku-ngaku serbagai perwakilan penguasa langit (Tuhan) yang merasa berhak menghukum dan mengadili masyarakat. Kelompok agama ini biasanya tidak mau bekerja, biasanya mengemis dan hanya menjual kata-kata yang mereka klaim sebagai “berasal dari Tuhan” atau kata-kata yang berharga karena “mereka adalah perwakilan Tuhan”, sang penguasa langit.
* Sangat membenci hubungan kasih sayang antara laki-laki dan perempuan. Memuja budaya “asketisme” (mengharamkan hubungan laki-laki dan perempuan/anti hubungan antara laki-laki dan perempuan/anti hubungan lawan jenis), akan tetapi besifat mendua akan hubungan seksual sesama jenis (homoseksual) terutama antara laki-laki dengan laki-laki. Perkawinan adalah merupakan urusan kelompok agama dan harus mendapatkan “izin” dari kelas “penguasa agama” dan keluarga seringkali tidak berwenang menentukan hal ini. Hubungan badan antara laki-laki dengan perempuan dianggap suatu yang hina atau “mesum” atau sebagai salah satu ungkapan daripada “perbuatan setan”. Akan tetapi hubungan badan antara laki-laki tidak mendapatkan tantangan dan sama sekali tidak dibahas atau bahkan diberlakukan sikap mendua untuk hal tersebut seperti banyak yang terjadi di kalangan kelompok penguasa-penguasa agama dan kelompok-kelompok tukang perang/ksatria. Karena itulah masyarakat patriarchal akrab dengan perilaku seksual yang aneh-aneh, tidak alamiah ataupun brutal/biadab seperti seperti “pelacuran” (baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak), istri/suami simpanan (konkubin), homoseksualitas, pederasty/paedophile (seks dengan anak kecil), harem/poligami dan pemerkosaan (terhadap laki-laki/perempuan dan anak-anak).
* Anak adalah mahluk yang tidak dihargai dan dihormati keberadaannya. Mereka dijadikan budak/sebagai obyek seksual perkosaan dan paedophile/pederasty. Kalau tidak mempunyai “Bapak”, tidak diakui keberadaannya dan dianggap sebagai “anak haram” dan dinistakan. Dibunuh pada saat dilahirkan atau di dalam kandungan karena mereka adalah anak perempuan atau karena Ibu yang mengandung mereka dinistaka oleh masyarakat karena “tidak ada suami”. Masyarakat Patriarchal akrab dengan konsep-konsep yang menistakan anak-anak seperti anak haram, anak tidak ber-Bapak. Anak sangat tidak dihormati kelahiran dan keberadaannya, dihormati hanya karena “siapa Bapaknya”. Ketika “siapa Bapaknya” tidak jelas maka ternistalah mereka. Masyarakat patriarchal akrab dengan budaya pembunuhan anak-anak, karena kekejian masyarakat terhadap perempuan hamil yang menyebabkan sang Ibu menggugurkan bayi dengan paksa atau karena konsep anak perempaun yang tidak ada harganya jika dibandingkan dengan anak laki-laki.
* Akrab dengan konsep anak berdasakan kelaminnya. Karena itulah anak laki-laki maupun perempuan adalah tidak sama dihormati dan tidak sama dihargai. Akrab dengan budaya pembunuhan anak perempuan karena kelamin anak laki-laki lebih dihargai daripada kelamin anak perempuan. Anak adalah “siapa Bapaknya” dan tidak dihargai sebagai bakal individu.
* Perempuan dalam bentuk ekstrimya adalh “siapa suaminya” (siapa yang memilikinya). Dalam budaya Hindu India yang sangat membenci perempuan, kalau suami dari seorang perempuan meninggal dunia, maka si perempuan (sebagai hak milik suami) harus ikut mati juga. Sang janda ini berdasarkan filsafat Hindu, dibunuh setelah suaminya mati. Ketika budaya ini dicoba dihapuskan oleh penjajah Inggris, pembunuhan perempuan janda ini mulai hilang. Akan tetapi sampai sekarang tetap saja janda-janda Hindu di India harus menerima nasib dinistakan karena status “janda”nya.