BANDA NEIRA DAN SAIL BANDA 2010
BANDA NEIRA DAN SAIL BANDA 2010
Label: Banda Naira, For Sail Banda 2010, Wisata Bahari indonesia, Wisata Budaya IndonesiaBanda Neira adalah gugusan pulau-pulau kecil yang terletak disebelah Tenggara pulau Ambon propinsi Maluku dan termasuk dalam wilayah kabupaten Maluku Tengah.
Di Indonesia ada tiga daerah yang menggunakan nama Banda didepan more picturenama daerah tersebut, seperti Banda Aceh di ujung utara Sumatera, Banda Neira di Maluku Tengah dan Banda Eli di Maluku Tenggara. Namun yang paling terkenal dengan sebutan nama “Banda”, hanyalah Banda Neira.
Banda Neira adalah kota tua yang penuh kenangan dan bagian dari sejarah dunia internasional yang tidak terlupakan. Neira adalah ibu kota kecamatan Banda, kota yang telah berumur lima abad, sebuah kota tua yang menyimpan misteri suka dan duka bagi semua penduduknya, kota yang oleh sejarawan asing disebut sebagai “een klein Europeesche Stad in Zuid-Oost Azie atau group dari kota-kota eropa yang dimiliki Asia Tenggara.
Buah pala sebagai komoditi utama kepulauan Banda, adalah legenda yang menyimpan rakhmat sekaligus petaka bagi orang Banda. Dalam perekonomian Dunia pada abad ke-15 sampai dengan awal abad ke-19 yang mengkonsentrasikan pada perdagangan rempah-rempah, ternyata buah pala telah mengangkat nama Banda sebagai kota internasional, sekaligus juga membawa orang Banda dalam petaka yang berkepanjangan. Semua penderitaan orang Banda pada saat itu berpangkal pada buah pala. Rakyat Banda menjadi korban-korban tak berdaya dalam tangan besi imperialis Belanda. Puluhan Ribu rakyat Banda dibantai oleh Jan Pieterszoon Coen dan pasukannya dalam aksi perampasan terhadap hak-hak rakyat Banda ketika itu. Tanpa Belanda sadari, sesungguhnya Coen telah menoreh sejarah negerinya dengan darah rakyat Banda yang tak berdaya itu. Pertanyaan kritis dari tulisan ini adalah apakah setelah Indonesia Merdeka, buah pala masih tetap menjadi petaka bagi orang Banda ?. Sulit bagi orang Banda untuk menjawabnya karena mereka tidak diberi otoritas untuk itu. Otoritas perkebunan pala di Banda ada ditangan Pemda Provinsi Maluku, karena mereka memiliki klaim sebagai pewaris perkebunan pala di Banda Neira. Oleh karena itu menjadi wajarlah jika pertanyaan diatas dijawab oleh Pemda Provinsi Maluku melalui Sail Banda yang bergengsi itu.
Pembantaian terhadap puluhan ribu rakyat Banda bersama 44 tokohnya tidak pernah terlupakan dalam benak semua anak negeri Banda dari generasi ke generasi, dan untuk mengingat tragedi kemanusiaan itu, tempat terjadinya The killing field tersebut, orang Banda membangun sebuah monument yang dikenal sebagai monument “Parigi Rantai”. Baik parigi rantai maupun benteng-benteng pertahanan Belanda yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Banda serta rumah-rumah mewah peninggalan Belanda dan Inggris, bukan saja menjadi objek wisata yang menarik, tapi juga menjadi symbol penderitaan rakyat Banda selama ratusan tahun. Apakah penderitaan nenek moyangnya selama ratusan tahun itu juga harus diwariskan kepada anak cucu Banda dewasa ini?. Orang Banda hanya bisa menjawab, semoga anggaran Sail banda yang ratusan milyard itu dapat menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan Banda dan masa depan rakyat Maluku, sehingga petaka buah pala berubah menjadi rakhmat melalui event internasional “Sail Banda 2010”.
Kalau saat ini, wilayah Timur Tengah menjadi rebut-rebutan negara-negara Barat karena kandungan minyak diperut buminya, maka pada sekitar akhir tahun 1500-an sampai dengan akhir tahun 1800-an, Banda Neira menjadi tempat rebut-rebutan bangsa Barat karena buah palanya. Berabad-abad bangsa Portugis, Belanda dan Inggris, secara bergantian atau bersama-sama menguasai Banda Neira, sampai pada akhirnya Jepang datang untuk menghancurkan semua apa yang ada di kota ini, kota yang memiliki bentuk sebagai een klein Europeesche Stad in Zuid-Oost Azie itu.
Tidak dapat disangkal bahwa Banda Neira memainkan peranan penting dalam percaturan ekonomi dan politik dunia international. Secara historis, peranan Banda Neira tersebut terbukti pada abad 17 di saat Belanda dan Inggris bertikai untuk memperluas wilayah kekuasaan, dan Batavia (Jakarta) dikorbankan menjadi sasaran penyerbuan justru Banda Neira menjadi pusat pertahanan dan pemukiman Gubernur Jenderal VOC. Di bidang Ekonomi juga terbukti bahwa begitu pentingnya Banda Neira pada saat itu sehingga Belanda bersedia menukar koloni Manhattan New York Amerika dengan pulau Rhun salah satu pulau dalam gugusan kepulauan Banda dengan Inggris. Sebagai kota internasional pada saat itu maka Banda Neira terbuka bagi siapa saja yang ingin mengunjunginya. Proses-proses asimilasi dan akulturasi terjadi sehingga etnik Banda dengan adat istiadatnya memiliki ciri tersendiri bila dibandingkan dengan etnik Maluku lainnya. Orang Banda dewasa ini adalah keturunan campuran dari berbagai etnik yang pernah lama bermukim di Banda Neira, seperti Portugis, Belanda, Inggris, Cina, Malayu, Arab Jawa, Sulawesi dan lain sebagainya. Proses inilah yang menjadikan etnik Banda Neira sebagai “etnik unik” dengan penampilan-penampilan yang lebih enak dipandang, serta memiliki perangai sebagai “etnik periang”, ramah, penuh persahabatan dengan prioritas proses assosiatif dalam kontak-kontak sosialnya. Sebagai etnik baru yang lahir dari percampuran unik dari berbagai etnik, menjadikan orang Banda sebagai manusia-manusia baru yang tahan uji dalam penderitaan suka bekerja keras dan memiliki sikap toleran dan kepasrahan yang luar biasa. Itulah sebabnya Bung Hatta (Wakil Presiden Pertama RI) yang pernah bermukim selama lima tahun di Banda Neira (1937-1942) menyatakan Orang Banda bagaikan miniaturnya bangsa Indonesia. Jika Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sedang berproses menjadi sebuah bangsa baru, maka sesungguhnya orang Banda telah final menjadi sebuah suku bangsa baru dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia Baru yang dicita-citakan itu.
Orang Banda bukan saja indah perangainya, tetapi panorama alamnya juga memberikan ketenangan bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Seorang pakar kelautan dan arkeologi bawah laut berkebangsaan Prancis Jacques Causteau, mengatakan bahwa melihat Banda Neira seperti menemukan Surga baru, seakan berada di Surga Lapisan Ketujuh. Bagaimana tidak? Kepulauan Banda yang dalam peta Indonesia tergambar seperti “taburan beras hitam” disebelah Tenggara pulau Ambon itu, terdiri dari sepuluh pulai kecil dan besar, yang teramat indah, yang tumbuh diatas hamparan permadani Taman Laut Banda yang paling indah di dunia.
Sangat indah, sehingga Banda Neira menjadi impian pencinta laut dari berbagai penjuru dunia. Bahkan penjelajah Portugis Francisco Serrau dalam buku harian kapalnya menulis. “Kami berlayar dari Malaka pada 11 November 1511 pada musim bertiupnya angin Barat. Sewaktu meninggalkan Malaka kami tidak banyak membawa bekal karena perang dengan Sultan Melayu masih berlangsung. Ternyata dalam pelayaran dua bulan lebih itu bekal yang kami bawa habis. Untuk mempertahankan hidup terpaksa segala yang ada di kapal dijadikan makanan, termasuk kecoa, tikus kapal dan keju busuk. Setelah dua bulan berlayar, pada pertengahan Januari 1512, tibalah kami di kepulauan Banda Neira yang begitu indah. Begitu banyak petualang Barat berupaya menemukan kepulauan yang bagaikan surga di dunia ini, yang kaya dengan pala, namun kami yang berjasa sukses menemukannya”. *). Usman Thalib [Ketua Umum Ikatan Kerukunan Masyarakat Banda (IKMB) Di Ambon].
Di Indonesia ada tiga daerah yang menggunakan nama Banda didepan more picturenama daerah tersebut, seperti Banda Aceh di ujung utara Sumatera, Banda Neira di Maluku Tengah dan Banda Eli di Maluku Tenggara. Namun yang paling terkenal dengan sebutan nama “Banda”, hanyalah Banda Neira.
Banda Neira adalah kota tua yang penuh kenangan dan bagian dari sejarah dunia internasional yang tidak terlupakan. Neira adalah ibu kota kecamatan Banda, kota yang telah berumur lima abad, sebuah kota tua yang menyimpan misteri suka dan duka bagi semua penduduknya, kota yang oleh sejarawan asing disebut sebagai “een klein Europeesche Stad in Zuid-Oost Azie atau group dari kota-kota eropa yang dimiliki Asia Tenggara.
Buah pala sebagai komoditi utama kepulauan Banda, adalah legenda yang menyimpan rakhmat sekaligus petaka bagi orang Banda. Dalam perekonomian Dunia pada abad ke-15 sampai dengan awal abad ke-19 yang mengkonsentrasikan pada perdagangan rempah-rempah, ternyata buah pala telah mengangkat nama Banda sebagai kota internasional, sekaligus juga membawa orang Banda dalam petaka yang berkepanjangan. Semua penderitaan orang Banda pada saat itu berpangkal pada buah pala. Rakyat Banda menjadi korban-korban tak berdaya dalam tangan besi imperialis Belanda. Puluhan Ribu rakyat Banda dibantai oleh Jan Pieterszoon Coen dan pasukannya dalam aksi perampasan terhadap hak-hak rakyat Banda ketika itu. Tanpa Belanda sadari, sesungguhnya Coen telah menoreh sejarah negerinya dengan darah rakyat Banda yang tak berdaya itu. Pertanyaan kritis dari tulisan ini adalah apakah setelah Indonesia Merdeka, buah pala masih tetap menjadi petaka bagi orang Banda ?. Sulit bagi orang Banda untuk menjawabnya karena mereka tidak diberi otoritas untuk itu. Otoritas perkebunan pala di Banda ada ditangan Pemda Provinsi Maluku, karena mereka memiliki klaim sebagai pewaris perkebunan pala di Banda Neira. Oleh karena itu menjadi wajarlah jika pertanyaan diatas dijawab oleh Pemda Provinsi Maluku melalui Sail Banda yang bergengsi itu.
Pembantaian terhadap puluhan ribu rakyat Banda bersama 44 tokohnya tidak pernah terlupakan dalam benak semua anak negeri Banda dari generasi ke generasi, dan untuk mengingat tragedi kemanusiaan itu, tempat terjadinya The killing field tersebut, orang Banda membangun sebuah monument yang dikenal sebagai monument “Parigi Rantai”. Baik parigi rantai maupun benteng-benteng pertahanan Belanda yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Banda serta rumah-rumah mewah peninggalan Belanda dan Inggris, bukan saja menjadi objek wisata yang menarik, tapi juga menjadi symbol penderitaan rakyat Banda selama ratusan tahun. Apakah penderitaan nenek moyangnya selama ratusan tahun itu juga harus diwariskan kepada anak cucu Banda dewasa ini?. Orang Banda hanya bisa menjawab, semoga anggaran Sail banda yang ratusan milyard itu dapat menjadi investasi jangka panjang bagi masa depan Banda dan masa depan rakyat Maluku, sehingga petaka buah pala berubah menjadi rakhmat melalui event internasional “Sail Banda 2010”.
Kalau saat ini, wilayah Timur Tengah menjadi rebut-rebutan negara-negara Barat karena kandungan minyak diperut buminya, maka pada sekitar akhir tahun 1500-an sampai dengan akhir tahun 1800-an, Banda Neira menjadi tempat rebut-rebutan bangsa Barat karena buah palanya. Berabad-abad bangsa Portugis, Belanda dan Inggris, secara bergantian atau bersama-sama menguasai Banda Neira, sampai pada akhirnya Jepang datang untuk menghancurkan semua apa yang ada di kota ini, kota yang memiliki bentuk sebagai een klein Europeesche Stad in Zuid-Oost Azie itu.
Tidak dapat disangkal bahwa Banda Neira memainkan peranan penting dalam percaturan ekonomi dan politik dunia international. Secara historis, peranan Banda Neira tersebut terbukti pada abad 17 di saat Belanda dan Inggris bertikai untuk memperluas wilayah kekuasaan, dan Batavia (Jakarta) dikorbankan menjadi sasaran penyerbuan justru Banda Neira menjadi pusat pertahanan dan pemukiman Gubernur Jenderal VOC. Di bidang Ekonomi juga terbukti bahwa begitu pentingnya Banda Neira pada saat itu sehingga Belanda bersedia menukar koloni Manhattan New York Amerika dengan pulau Rhun salah satu pulau dalam gugusan kepulauan Banda dengan Inggris. Sebagai kota internasional pada saat itu maka Banda Neira terbuka bagi siapa saja yang ingin mengunjunginya. Proses-proses asimilasi dan akulturasi terjadi sehingga etnik Banda dengan adat istiadatnya memiliki ciri tersendiri bila dibandingkan dengan etnik Maluku lainnya. Orang Banda dewasa ini adalah keturunan campuran dari berbagai etnik yang pernah lama bermukim di Banda Neira, seperti Portugis, Belanda, Inggris, Cina, Malayu, Arab Jawa, Sulawesi dan lain sebagainya. Proses inilah yang menjadikan etnik Banda Neira sebagai “etnik unik” dengan penampilan-penampilan yang lebih enak dipandang, serta memiliki perangai sebagai “etnik periang”, ramah, penuh persahabatan dengan prioritas proses assosiatif dalam kontak-kontak sosialnya. Sebagai etnik baru yang lahir dari percampuran unik dari berbagai etnik, menjadikan orang Banda sebagai manusia-manusia baru yang tahan uji dalam penderitaan suka bekerja keras dan memiliki sikap toleran dan kepasrahan yang luar biasa. Itulah sebabnya Bung Hatta (Wakil Presiden Pertama RI) yang pernah bermukim selama lima tahun di Banda Neira (1937-1942) menyatakan Orang Banda bagaikan miniaturnya bangsa Indonesia. Jika Indonesia yang terdiri dari berbagai suku bangsa sedang berproses menjadi sebuah bangsa baru, maka sesungguhnya orang Banda telah final menjadi sebuah suku bangsa baru dalam tatanan sosial masyarakat Indonesia Baru yang dicita-citakan itu.
Orang Banda bukan saja indah perangainya, tetapi panorama alamnya juga memberikan ketenangan bagi siapa saja yang berkunjung ke sana. Seorang pakar kelautan dan arkeologi bawah laut berkebangsaan Prancis Jacques Causteau, mengatakan bahwa melihat Banda Neira seperti menemukan Surga baru, seakan berada di Surga Lapisan Ketujuh. Bagaimana tidak? Kepulauan Banda yang dalam peta Indonesia tergambar seperti “taburan beras hitam” disebelah Tenggara pulau Ambon itu, terdiri dari sepuluh pulai kecil dan besar, yang teramat indah, yang tumbuh diatas hamparan permadani Taman Laut Banda yang paling indah di dunia.
Sangat indah, sehingga Banda Neira menjadi impian pencinta laut dari berbagai penjuru dunia. Bahkan penjelajah Portugis Francisco Serrau dalam buku harian kapalnya menulis. “Kami berlayar dari Malaka pada 11 November 1511 pada musim bertiupnya angin Barat. Sewaktu meninggalkan Malaka kami tidak banyak membawa bekal karena perang dengan Sultan Melayu masih berlangsung. Ternyata dalam pelayaran dua bulan lebih itu bekal yang kami bawa habis. Untuk mempertahankan hidup terpaksa segala yang ada di kapal dijadikan makanan, termasuk kecoa, tikus kapal dan keju busuk. Setelah dua bulan berlayar, pada pertengahan Januari 1512, tibalah kami di kepulauan Banda Neira yang begitu indah. Begitu banyak petualang Barat berupaya menemukan kepulauan yang bagaikan surga di dunia ini, yang kaya dengan pala, namun kami yang berjasa sukses menemukannya”. *). Usman Thalib [Ketua Umum Ikatan Kerukunan Masyarakat Banda (IKMB) Di Ambon].